Hot!

Other News

More news for your entertainment
Tampilkan postingan dengan label Cerita Cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Cinta. Tampilkan semua postingan

Kesetiaan Cinta Abadi Kelelawar

Kelelawar memiliki kesetiaan seumur hidup, seperti manusia. Makhluk nokturnal ini memiliki struktur sosial sangat kuat menyerupai gajah dan lumba-lumba.

Kesetiaan Cinta Abadi Kelelawar

Satu-satunya mamalia bisa terbang ini diteliti ilmuwan Jerman selama lima tahun dengan observasi pada 20.000 ekor kelelawar. Mereka mampu mempertahankan kesetiaan abadi.

Profesor Gerald Kerth dari Greifswald University yang menerbitkan studi terbaru kelelawar di jurnal Proceedings of the Royal Society B memberikan wawasan baru dari kumpulan binatang kompleks ini.

“Studi menunjukan struktur sosial multi-level terjadi pada kelelawar liar. Sama sepeti gajah, lumba-lumba dan primata lainnya, termasuk manusia. Mereka mampu menjaga hubungan sosial meskipun tergabung dalam beberapa variabel kelompok,” kata Kerth.

Informasi tentang dinamika hubungan sosial dan interaksi antar individu sangat penting untuk memahami evolusi sosial binatang dalam jangka panjang.

"Dalam koloni yang lebih besar, kami mendeteksi dua sub-unit hubungan yang stabil terutama garis keturunan kelelawar," tulis studi tersebut.

Cinta Tidak Pernah Meminta

Ketika aku berdiri bagaikan sebuah cermin jernih di hadapanmu, kamu memandang ke dalam diriku dan melihat bayanganmu. Kemudian kamu berkata, "Aku cinta kamu." Aku hanya ingin kau mencintai dirimu dalam diriku.

Sejatinya Cinta baik dibumi maupun dilangit adala karunia Illahi semata, waspadalah terhadap cinta !,cinta akan memakan hati seperti api memakan kayu.

Apakah aku akan menemukan cinta ? sedangkan ujian belum aku tempuh. Apa yang aku simpan untuk diriku akan lenyap, dan apa yang aku berikan kepada yang lain akan aku miliki selamanya.

Ya Allah….. dimana lagikah dapat kutemui Cinta Sejati kecuali pada cinta-Mu, kemana lagikah hati iniharus berlabuh kecuali pada kasih-Mu, jadikanlah hati yang lemah ini hanya tertambat kukuh hanya pada-Mu.

Didalam seribu mimpiku yang bertabur sepi yang mengantar kepada-Mu, aku hanya ingin ampunan dan terangilah jalanku.

Meski didunia ini tiada yang sempurna, aku hanya memohon dalam taubatku untuk diterangi jalanku.

Ku persembahkan semuanya hanya kepada-Mu, dalam jalanku yang rapuh membuka mata hatimungkin aku telah lupa dalam lelah dan resah kuteteskan air mata kubersujud kepada-Mu.

Kuserahkan semua cintaku yang tak setia dan tak sempurna ini hanya kepada-Mu.Aku hanya mohonridho atas segenap keputusan-Mu, kesejukan setelah matiku, kenikmatan untuk memandang cinta dan kerinduan terhadap cinta.

Ampunilah diri yang tak berharga ini ya Allah….. penuhilah kehinaannya dengan keindahanmagfirohmu, semua canda tangis dan tawa terlukis dalam hidupku, sebuah usaha akan aku lakukanuntuk belajar mengarifi hidup dari jatuh bangunnya diri meraih segenggam cinta…. Yang memberikekayaan bathin kepadaku, betapa penuh warna perjalanan hidup ini karena cinta yang ada pada dirikuadalah fitrah-Mu


Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.

Tuhan memberi kita dua kaki untuk berjalan, dua tangan untuk memegang, dua telinga untuk mendengar dan dua mata untuk melihat. Tetapi mengapa Tuhan hanya menganugerahkan sekeping hati pada kita? Karena Tuhan telah memberikan sekeping lagi hati pada seseorang untuk kita mencarinya.Itulah namanya Cinta.

Ada 2 titis air mata mengalir di sebuah sungai. Satu titis air mata tu menyapa air mata yg satu lagi,”Saya air mata seorang gadis yang mencintai seorang lelaki tetapi telah kehilangannya. Siapa kamu pula?”. Jawab titis air mata kedua tu,” Saya air mata seorang lelaki yang menyesal membiarkan seorang gadis yang mencintai saya berlalu begitu sahaja.

”Cinta sejati adalah ketika dia mencintai orang lain, dan kamu masih mampu tersenyum, sambil berkata:aku turut bahagia untukmu.


Jika kita mencintai seseorang, kita akan sentiasa mendoakannya walaupun dia tidak berada disisi kita.

Jangan sesekali mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba. Jangan sesekalimenyerah jika kamu masih merasa sanggup. Jangan sesekali mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya.


Perasaan cinta itu dimulai dari mata, sedangkan rasa suka dimulai dari telinga. Jadi jika kamu mahu berhenti menyukai seseorang, cukup dengan menutup telinga. Tapi apabila kamu Coba menutupmatamu dari orang yang kamu cintai, cinta itu berubah menjadi titisan air mata dan terus tinggaldihatimu dalam jarak waktu yang cukup lama.

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan walaupun mereka telah dikecewakan.Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masihingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan kepada mereka yang mempunyaikeberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.

Jangan simpan kata-kata cinta pada orang yang tersayang sehingga dia meninggal dunia , lantaranakhirnya kamu terpaksa catatkan kata-kata cinta itu pada pusaranya . Sebaliknya ucapkan kata-katacinta yang tersimpan dibenakmu itu sekarang selagi ada hayatnya

Ketika Cinta Memanggilku

Ketika cinta memanggilku, maka aku akan melewatinya walau jalannya terjal berliku, jika cinta memelukku akan kudekap engkau walau pedang di sela-sela sayapnya melukaiku. Aku hanya ingin menyentuh tangan keabadian karena Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia karena cinta itu membangkitkan semangat hidup-hidup ku dan gejala alami pun tak mampu mengubah perjalanannya.

Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini, pastilah cinta akanmenyatukan kita dalam kehidupan yang akan dating, dan atas nama cinta aku bersumpah hanya akan menyanjung cinta dan mencintaimu. Cinta adalah kesesuaian jiwa dan jika itu tak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad. terbalut dalam kerendahan hati walaupun harus bersembunyi dan bergerak dalam kegelapan aku takkan lari demi cinta.

Pertama aku mencintai kau yang pertama adalah imaginasinya dan yang kedua adalah yang belum dilahirkan. Aku hanya mencintaimu kekasihku, walaupun aku tak tahu ini adalah takdir. Kita akan selalu bersama dan tidak akan ada yang memisahkan cintaku atasmu.

Suara kehidupanku meski tak akan mampu menjangkau telinga kehidupanmu tapi aku akan bicarauntuk dapat mengusir kesepian dan tidak merasa jemu.

Aku mencintaimu kekasihku. Keindahan adalah cintaku kan ku buka tabir penutup wajah, dan kau adalah kehidupanku itu, kau cadar itu. Kau adalah keindahan keabadian yang termangu di depan cermin, dan kau adalah keabadian itu, kaulah cermin itu.

Rumahmu tak akan menjadi sebuah sangkar, melainkan tiang utama sebuah kapal layar tuk menuju bahtera cinta yang abadi

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada apiyang menjadikannya abu... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempatdikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Aku hanya ingin bahagia, Kekasihku karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yangindah... kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan, apayang telah kucintai laksana bunga-bunga indah... dan apa yang kucintai kini... akan kucintai sampai akhir hidupku, karena kau ialah semua yang dapat kucapai... dan tak ada yang akan mencabut diriku dari padanya.

Cinta yang dibasuh oleh airmata akan tetap murni dan indah sentiasa.Seorang wanita yang telah dilengkapi oleh Tuhan dengan keindahan jiwa dan raga untuk ku cintai,yang sekaligus nyata dan maya, yang hanya bisa aku fahami dengan cinta kasih, dan hanya bisa aku sentuh dengan kebajikan.

Tuhan telah menyalakan obor dalam hatiku yang memancarkan cahaya pengetahuan dan keindahan,sungguh berdosa jika aku memadamkannya dan mencampakkannya dalam abu.

Kekuatan cintaku adalah anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepadaku, sebab kekuatan itu tidak akan pernah direnggut dari manusia penuh berkat yang mencinta.

Aku tidak dapat menuai cinta sampai ku merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampumembuka fikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan.

Mempererat Asmara Dengan Humor

Untuk mempertahankan sebuah hubungan diperlukan rasa saling percaya, toleransi pengertian dan sebagainya. Kadang butuh kerja keras untuk bisa mendapatkan semuanya.

Saat hubungan ada di ujung tanduk, satu kesalahan kecil bisa merusak semuanya. Rasa marah, kecewa kesal seringkali melanda.

Namun ada satu hal yang bisa kembali merekatkan hubungan itu, yaitu rasa humor. Mungkin sekilas terdengar sepele, namun ternyata rasa humor bisa menjadi perekat dalam sebuah hubungan.

Rasa humor dapat meningkatkan pikiran yang positif. Dengan rasa humor, kita bisa melihat hal dengan lebih indah. Suatu kesalahan menjadi lebih sederhana. Rasa kecewa pun tak lagi melanda.

Saat suatu hal yang buruk tak lagi membuat kita tersiksa, sebaliknya malah membuat kita tertawa, hal itu yang bisa membuat seseorang bangkit dari keterpurukannya. Kebodohan yang pernah kita lakukan bukan untuk diratapi seumur hidup, melainkan untuk menjadi bahan pembelajaran. Kita boleh menjadikan kebodohan itu sebagai humor, agar tak melakukannya lagi di kemudian hari.

Humor juga bisa membuat suatu hubungan menjadi lebih menyenangkan. Tidak semua hal harus ditanggapi secara serius. Kadang dengan humor, hubungan Anda bisa berlangsung lebih santai.

Namun jangan jadikan humor sebagai pengalihan hal-hal yang krusial untuk dibahas. Anda akan membalikkan suasana menjadi semakin kacau.

Terjerat Cinta dan Ambisi

Terjerat Cinta dan Ambisi Memang enak kalau masih sendiri, tanpa beban, yang dipikirkan hanya kepentingan pribadi. Mau tidur nggak bangun bangun juga nggak ada yang protes, mau foya-foya, wong uang sendiri kok, jadi bebas mau ditabung atau dihabiskan.

Terus teman saya itu berkata,” Tapi lucu juga sih ya, dulu saat kita single, ingin cepat-cepat menikah, punya anak, dll.” Sekarang sudah menikah, punya anak, eeeeh malah ingin jadi single lagi. Saya jawab, “Nah itulah kita, manusia, makhluk tertinggi dan makhluk yang tidak pernah puas.” Mendengar keluh kesahnya saya jadi berpikir soal kehidupan saya.

Memang kalau kita kilas balik, wah enaknya jaman-jaman muda dulu, apalagi jaman sekolah. Pikirannya nggak jauh-jauh dari PR, ulangan dan main sama teman-teman. Sekarang, semuanya berubah setelah kita berkeluarga. Yang tadinya kurang peduli dengan keadaan orang tua, sekarang merasakan susahnya menjadi orang tua. Merasakan susahnya mencari uang, mendidik anak, dan menahan semua keinginan pribadi.

Kadang saya berpikir, wah seandainya bisa memutar balikan waktu, rasanya saya ingin jadi single saja. Saya ingin menggapai cita-cita saya dulu, setelah puas, baru saya berkeluarga, jadi saya bisa memenuhi “my perfect dream”.

Terlebih kalau saya melihat anak-anak muda sekarang yang sedang giat-giatnya meniti karir. Ada rasa iri, mengapa saya tidak bisa seperti itu. Yang ada sekarang, maju kena mundur kena, kalau kata DKI warkop hehe..
Hey, tapi apakah seburuk itukah hidup saya? Saya kembali melihat anak-anak saya, dimata mereka yang penuh keceriaan, dan juga kenakalan2 yang mereka buat, mengingatkan saya kalau inilah hidup yang saya harus jalani sekarang.

Memang tidak seperti yang saya bayangkan waktu saya muda dulu, tapi bagi saya, kehidupan sekarang membuat saya lebih memahami arti kehidupan. Ditengah-tengah kehidupan yang hectic, toh saya masih bisa berkarya. Saya masih bisa mengejar cita-cita saya, perlahan tapi pasti.

Akhirnya setelah saya menelaah kembali apa yang saya perlu lakukan ketika terjerat cinta dan ambisi, saya menyimpulkan harus melakukannya seiring. Dengan CINTA melakukan apapun lebih bergairah, bukan hanya meniti karir, tapi dalam melakukan apapun yang kita sukai, misalnya menulis, memasak, olahraga, menyanyi,dll. Karena saya yakin dengan CINTA, membuat kita lebih berAMBISI untuk berkarya.

Gajinya Seharga Celana Jeans-Ku!

Di luar sana salju turun lagi bikin malas saja untuk keluar rumah. Inginnya bersih-bersih rumah saja setelah minum kopi di pagi ini. Seperti biasa sambil minum kopi aku buka laptop ku yang ada di ruang bawah sambil ngintip KoKi. Sejak mosi-mosi mati, aku memang tidak pernah duduk lagi didepan PC yang ada di kamar atas, dari itu aku jadi jarang kirim cerita foto buat KoKiKlik, karena semua foto-foto aku simpan di PC. Aku masih suka sedih ingat mosi-mosi biasanya kucingku akan duduk di pangkuanku kalau aku lagi di depan PC atau mosi-mosi akan duduk disamping kaki ku… hiks... masih sakit kalau mengenangnya kadang airmata masih suka menetes. Biar bagaimana mosi sudah seperti anak buatku
Tidak tahu kenapa sambil memangku laptop yang ada dipangkuanku ini, sambil denger lagu yang aku putar aku jadi senyum-senyum mengenang seseorang yang pernah dekat denganku. Yang akhirnya malah aku ketak-ketik menulis cerita ini. Kisah cintaku ini adalah dengan laki-laki Indonesia seorang duda yang ditinggal mati oleh istrinya. Anaknya sudah besar-besar dan sudah menikah semuanya.

Laki-laki ini seorang berbaju hijau berpangkat Kolonel, umurnya lebih tua beberapa tahun dari aku. Kami berdua sempat dekat melakukan hubungan LDR dengan email, SMS, telepon juga ketemuan setahun sekali. Kami juga sudah membicarakan tentang hubungan kami berdua mau bagaimana nantinya, pokoknya sudah bicara masalah yang serius deh.

Dia ingin menjual rumah yang pernah ditempatinya dengan alamarhum istrinya dan akan dibagi untuk anak-anaknya. Dia akan membeli rumah lain lagi yang lebih kecil untuk kami tempati berdua nanti. Karena tidak mungkin kan tinggal di rumah itu jika dia nanti jadi menikah dengan ku. Ya, iyalah masa tidur di kamar bekas dia dengan almarhum istrinya apalagi di ranjang yang sama, jadi semua itu tidak mungkin lagipula aku juga tidak mau kalau sampai seperti itu. Kami memutuskan akan mencari rumah di daerah selatan agar dekat dengan kantornya.

Yang ada dipikiran ku saat itu jika aku menikah dengannya aku memang ingin kembali lagi ke Indonesia dan menetap di Indonesia untuk selamanya. Kalau aku menikah lagi dengan laki-laki Indonesia otomatis aku nanti akan bisa pindah kewarganegaraanku lagi menjadi WNI. Aku sudah bosan dengan kehidupan di Belanda walau semuanya terjamin dan sejahtera tapi hidup ku disini benar –benar monoton, sedangkan aku dari dulu terbiasa dengan kehidupan gemerlap kota Jakarta bersama teman-temanku, sementara aku di Belanda tinggal di kota kecil. Walau aku pernah tinggal delapan tahun di kota Groningen karena sesuatu hal aku harus pindah kota dan pilihanku pindah ke daerah Friesland.

Dia, laki-laki itu sebenarnya pernah dekat dengan beberapa perempuan di Indonesia, bahkan dengan salah satu artis jadul pernah menikah siri katanya, te tapi akhirnya bubar karena artis itu hanya mau morotin uang dia saja sampai habis-habisan dan artis jadul itu ketahuan pacaran lagi dengan laki-laki lain yang lebih muda dari dia katanya. Dia juga sudah sering dijodohkan oleh kerabat atau teman-temannya. Tetapi belum ketemu yang sreg, yang akhirnya dia merasa sreg sama aku katanya... ciele...

Aku sempat dikenalkan dengan teman-teman dan keluarganya. Dan aku sempat melamun membayangkan jika aku jadi menikah dengan dia pasti aku akan ikut kumpulan ibu-ibu Dharma Wanita… weks… serem banget membayangkannya... hahaha… tahu sendiri kan, bagaimana ibu-ibu Dharma Wanita itu? Bukan ”gue banget”!

Karena sudah serius membicarakan hubungan kami berdua jika aku menikah dan menetap dengannya nanti di Indonesia. Aku pun jadi tahu pendapatan gaji dia setiap bulannya yang sempat bikin aku terkejut dan tersedak setelah mendengar gaji bersih dia setiap bulan sebagai seorang Kolonel. Ternyata gajinya setiap bulan hanya cukup untuk membeli celana jeansku satu, yang biasa aku pakai setiap hari.

Maaf, bukan aku menghinanya, hanya aku berfikir kalau gaji seorang Kolonel segitu bagaimana dengan bawahannya? Sanggupkah aku jika tinggal di Indonesia bersamanya dengan uang gajinya itu ? Walau dia juga sebenarnya berwirastawa untuk menambah penghasilannya selama dia hidup dengan almarhum istrinya dulu.

Aku memang mempunyai uang tabungan untuk hari tuaku nanti, tetapi setelah aku pikir baik-baik lagi apakah aku akan meneruskan hubunganku dengan laki-laki itu setelah aku tahu gaji dia tiap bulannya, kok, aku malah jadi ciut untuk memutuskan tinggal dan hidup di Indonesia dengannya.

Bukan karena aku matre lhoo, hanya aku berfikir lagi seandainya dia pensiun nanti pasti penghasilannya akan semakin kecil saja dari gajinya yang sekarang dia dapatkan setiap bulannya. Sedangkan hidup ini tidak cukup dengan modal cinta saja, harus dipikirkan juga masalah ekonomi yang mungkin nanti akan bikin masalah di kemudian hari, apalagi aku bukan tipe perempuan yang bisa hidup sederhana sampai mengirit-ngirit uang belanja setiap bulannya dan yang pasti aku tidak akan bisa berubah dengan gaya hidupku yang suka shopping, ke salon, spa, etc kalau tinggal di Indonesia. Karena akan terbawa lingkungan gaya hidup teman-temanku juga yang suka hang out bareng, yang belum bisa aku ubah sampai saat ini jika aku di Indonesia.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak jadi menetap di Indonesia dan memilih tetap hidup di Belanda selamanya bersama anak-anakku. Dan juga kalau sekarang aku masih ingin menikah dengan orang Indonesia, aku harus membeli laki-laki Indonesia dari pemerintah Indonesia seharga 500 juta… HAHAHA… waaah bisa kaya tuh Negara Indonesia menjual rakyatnya kepada orang Asing... ck... ck... uang yang 500 juta itu mau buat siapa? Mau disimpan dimana uangnya? Kalau orang Belanda bilang sih RUU yang akan dibikin itu Waardeloos!!!

Suami Impian

Suami Impian“Apa lagi, Nirina?”

Gadis dengan garis wajah oriental itu tak menjawab. Hanya menggoyang-goyangkan kakinya, resah.

“Tak ada yang salah dengan perawakannya, kan? Tidak seperti lelaki yang terakhir datang.”

Nirina tersenyum. Pasti pikirannya melayang ke kejadian tujuh bulan lalu, ketika seorang lelaki datang melamar. Biyan, namanya. Kehadiran sosok tegap itu segera saja membawa kami pada pertengkaran sengit,

”Aku tidak bisa.”

”Kenapa?” kejarku cepat. Ini bukan pertama kali Nirina beralasan. Selalu ada saja kekurangan lelaki yang melamarnya.

Kekanak-kanakan!

Terlalu serius. Lihat keningnya yang terus-terusan terlipat!

Wajahnya aneh, tidak terlihat tulus.

Entahlah, dari caranya berjalan, sepertinya dia tipe lelaki yang suka mendominasi perempuan!

Dan masih ada segudang alasan yang keluar dari bibir tipisnya.

Pun tujuh bulan lalu, ketika aku menerka-nerka keberatannya terhadap Biyan. Wajah lelaki itu simpatik, bahasanya pun santun. Penampilannya memang terbilang biasa, tapi jelek pun tidak.

”Jadi, apa lagi, Nirina?”

Matanya!

Di tempat duduknya, Nirina menggoyang-goyangkan kakinya, persis anak kecil. Tangan gadis itu berkeringat. Jantungnya berdegup lebih keras.

Aku memperhatikan Biyan lebih lekat, seandainya kamera, maka barangkali aku sudah menangkap wajah sederhananya dengan zoom terdekat.

”Tidak ada yang salah dengan matanya!” ujarku, setengah berbisik.

Nirina menggeleng-gelengkan kepala. Kerudung segi empatnya terusik.

Gemas, aku tak lagi bicara. Percuma, toh Nirina lebih sering tak mendengar perkataanku.

Kulihat mereka masih bercakap-cakap, tapi tak ada perkembangan. Upaya kedua orang tua Nirina untuk mengarahkan obrolan ke tingkat lanjutan pun tak menampakkan hasil.

Lima belas menit kemudian, Biyan pamit.

Selesai sudah, pikirku. Nirina memang terlalu.

”Jangan menyebutku terlalu!” protesnya cepat.

Seperti biasa Nirina selalu tahu pikiranku, seperti aku selalu bisa menebak isi kepalanya. Kami memang teramat dekat.

”Tapi kamu memang terlalu, Nirina.”

”Tapi, matanya….”

”Tidak! Bukan matanya. Ayolah, percuma bohong di depanku.”

Nirina menyenderkan badannya di pintu kamar. Kedua tangannya ditangkupkan ke wajah. Tak lama, bahunya mulai terisak-isak.

”Tolong, jangan desak aku terus.”

Entah isaknya, entah memang waktu itu sudah terlalu malam untuk berdebat. Aku mengalah.

Itu yang terjadi tujuh bulan lalu, tapi tidak kali ini.

Rahangku mengeras. Apapun yang terjadi, pokoknya aku sudah bertekad untuk mempertahankan pendapatku mati-matian. Demi kebaikan gadis itu. Nirina tidak bisa terus-terusan begini. Tidakkah dia sadar usia yang terus melaju tanpa hambatan?

”Aku tahu,” desisnya lemah.

Aku gembira mendengarnya. Sungguh. Tidak ada yang lebih menggembirakanku selain keberanian Nirina untuk jujur pada dirinya sendiri.

”Ya, bagus begitu. Mantapkan hatimu, Nirina.”

Nirina tak menjawab. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah lelaki ke sekian yang masih terus bicara. Di antara mereka, kedua orang tua Nirina sebaliknya berkali-kali justru melirik anak gadisnya.

Mudah-mudahan kali ini berhasil, barangkali begitu pemikiran mereka. Setidaknya Nirina belum meninggalkan teman satu kantornya itu, meski sudah setengah jam lebih.

”See? Tidak jelek juga kan memberi dirimu kesempatan. Setidaknya kalian sudah satu kantor, pasti lebih mudah, sebab telah saling mengenal.”

Nirina tiba-tiba menggeleng. Melunturkan keyakinan diriku barusan.

”Kami memang satu kantor, tapi beda divisi. Dia orang baru malah. Tak banyak yang kutahu,” bisiknya dengan intonasi yang telah kuhafal.

Tidak! Tuhan, jangan biarkan Nirina menarik dirinya lagi. Kumohon….

Tapi Nirina mulai terlihat tidak nyaman. Kedua kakinya bergerak-gerak lagi. Wajah gadis berkulit kuning langsat itu kembali tak tenang. Puncaknya….

Jangan! Jangan begitu Nirina. Eh, kembali, jangan pergi. Nirina…!

”Aku tidak bermaksud begitu. Bukan maksudku menjadi perempuan yang selalu mengecewakan.”

Aku menarik napas panjang, bingung harus menjawab apa.

”Kamu egois, Nirina. Suami impian tidak akan datang jika kamu terus begini.”

Jawabanku yang tegas itu serta-merta membuat Nirina terkesiap,”Benarkah?”

Aku mengangguk.

”Maafkan aku, bukan maksudku begitu.”

Aku tiba-tiba saja ingin tertawa keras.

”Jangan keras-keras. Telingaku tidak tuli.”

Aku tetap saja tertawa. ”Nirina… Nirina,” sebutku kemudian, masih dengan gelak yang tersisa,”kamu tidak harus meminta maaf padaku. Memangnya, apa peduliku?”

Nirina terlihat tak mengerti.

”Dengar,” lanjutku lagi,”Tak peduli apakah seorang Nirina menikah atau menjadi perawan tua, tidak banyak bedanya bagiku. Toh kita tetap sama-sama, kan? Tidak ada yang bisa mengubah itu.”

Mata sipit memanjang milik Nirina tampak bingung.

”Kamu egois, Nirina. Dengar, selama ini kamu hanya mempedulikan perasaanmu, kemauanmu, dan lupa memandang sekitar. Sekali-kali keluar dari dirimu, Nirina. Pandang sekelilingmu dengan mataku. Lihat, betapa kecewanya wajah Papa dan Mama, setiap kali kamu menarik diri dari proses mengenal lebih dekat calonmu. Bisa kamu lihat sekarang?”

”Kamu bohong!” Mata Nirina mendadak berair.

”Itu yang sejujurnya, kamu tahu itu.”

Gadis itu menggeleng lagi. ”Tidak, tidak. Kamu bohong. Papa dan Mama baik-baik saja, mereka dua orang tua yang luar biasa. Tidak memaksakan kehendak kepada anak-anak mereka. Tidak seperti banyak orang tua lain yang kutahu.”

Ketika Nirina meninggikan intonasinya, dan mulai dengan serampangan membela diri, aku memilih bungkam. Tidur mungkin jalan keluar yang baik. Tapi sebelum pergi, aku meninggalkan kalimat ini padanya.

”Tidakkah setiap orang tua ingin menjadi kakek dan nenek, Nirina? Kebahagiaan apa lagi yang bisa kita berikan pada mereka, setelah kelucuan sebagai kanak-kanak menghilang?”

Nirina diam.

Tapi aku tahu, sebetulnya dia menyimpan kalimatku baik-baik dalam ruang penting di hatinya.

Buktinya, seminggu kemudian gadis itu kembali membuka diri. Padahal laki-laki yang datang kali ini sama sekali tidak dikenal gadis itu. Mariska, kakak satu-satunya Nirina yang mengenalkan.

Tingginya cukup, berat badan sedang. Alis hitam dan tebal, nyaris bertaut di dahi. Bibirnya sedikit kecokelatan, namun tidak terlihat hitam oleh rokok. Sungguh memberi kesan awal yang baik buatku, kuharap begitu juga buat Nirina.

”Ssst, siapa tadi namanya?”tanyaku, sekonyong-konyong.

Nirina sedikit tersipu, namun dijawabnya pertanyaanku dengan suara serupa bisikan,”Kamu tidak menyimak rupanya?”

Aku tertawa.”Tidak, sebab kamu sendiri tidak ingat namanya, kan?”

Nirina kembali tersipu. Tapi aku senang melihat semburat merah muda di wajahnya yang kuning.

”Bagus.”

Laki-laki itu menyebutkan namanya, membuat pias merah jambu itu kembali memuai di wajah Nirina. Seperti kanak-kanak yang tertangkap basah mencuri permen.

Aku tersenyum kecil melihatnya.

”Bagus ini teman Kak Riska waktu di SMA, Nirina.”

Kami berpandangan, lalu berbarengan ber’O’.

Setelah itu kata-kata mengalir, silih berganti. Selama pertemuan itu pula, aku mencatat perubahan cukup besar pada Nirina. Gadis itu terlihat lebih membuka diri, dan berusaha keras terlibat dalam percakapan secara aktif.

Dia, misalnya, mau bertanya di mana tempat tinggal pemuda bernama Bagus itu, lalu apa hobinya. Dan ketika Bagus menyebutkan membaca sebagai hobi utama, mata memanjang milik Nirina berkerlap.

Nirina bahkan berani menanyakan pekerjaan Bagus, juga keluarganya. Pemuda itu menjawab semua pertanyaan Nirina dengan simpatik. Aku suka melihat cara berbicaranya yang begitu teratur, tidak terburu-buru, santun tanpa perlu menjadi kaku.

“Ssst, kamu bertanya atau interogasi?” godaku saat Bagus berpamitan.

Awalnya Nirina tertawa saja. Tapi sewaktu jam demi jam berlalu, gadis itu berangsur tak tenang.

“Tidak perlu cemas begitu, Nirina.”

Gadis kesayanganku itu seperti tak mendengar, terus mondar-mandir di kamarnya yang berukuran 3 x 4. Lalu tak berapa lama, setelah Mariska pulang, kecemasan Nirina berubah menjadi kepanikan.

”Hey… hey… tenang saja, Nirina.”

Nirina menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu betul, aku terlalu agresif tadi. Harusnya tidak begitu. Ya Allah… lihat kan wajahnya begitu lega ketika pertemuan berakhir? Seharusnya aku lebih menahan diri, dan tidak bersikap seperti seorang polisi yang melakukan investigasi.”

Belum pernah kulihat Nirina segundah itu. Berkali-kali tangan rampingnya ditepukkan ke kening.

“Duh, bodohnya aku!”

“Tenang,”

“Tapi tadi kamu sendiri yang bilang begitu, kan?”

Aku garuk-garuk kepala, benar sih. Tapi tadi kan aku hanya menggodanya saja.

”Sekarang dia akan melihatku tak ubahnya aggressor, seperti Israel terhadap Palestina.”

”Kamu berlebihan, ah.”

”Ok, seperti striker di lapangan terhadap kipper?”

”Ini bukan pertandingan bola, Nirina. Tenanglah.”

”Sekarang dia akan berubah pikiran,”suaranya mengandung penyesalan.

Aku terenyuh mendengarnya. Suara gadis itu barusan terdengar tulus, pekat dengan kekhawatiran. Seolah berkata, dia telah menemukan suami impian.

Padahal ini baru pertemuan pertama.

Alhamdulillah.

”Tapi, bagaimana jika Bagus tidak kembali?”

”Gampang saja,” sahutku mencoba menenangkannya.

”Maksudmu?”

”Ya, setelah semua kecerewetanmu tadi, siapa yang sudi kembali?”

Nirina shocked, tapi aku tertawa.

“Hey… hey. Aku cuma bercanda, kok.”

Bibir gadis itu menyungging senyum. Hanya sekilas sebelum mendung kembali menggayuti, dan membuat paras Vic Zhounya murung.

Syukurlah kekhawatiran gadis itu tak terbukti. Beberapa hari kemudian, pemuda bermata hitam yang memiliki alis tebal itu datang lagi. Mariska kembali menemani percakapan dua anak muda itu, bahkan Papa dan Mama belakangan ikut meningkahi obrolan ketiganya.

Raut wajah Nirina cerah, aku senang merasakan hatinya yang melonjak-lonjak. Tampaknya pemuda ini memiliki kecocokan dengan Nirina, dan bisa memenangkan kunci hati gadis itu.

Pada pertemuan kelima, Bagus membawa kedua orang tuanya, dan mengajukan niatan. Mariska memang tak salah pilih makhluk untuk menikahi adiknya. Bagus tak seperti kebanyakan pemuda yang cuma mau pacaran, sebaliknya cowok itu dengan terus-terang mengemukakan keinginannya untuk memperistri Nirina.

Tibalah saatnya semua mata tertuju pada Nirina, yang sejak tadi menundukkan wajah mungilnya, yang hari itu dibalut kerudung ungu muda.

Diam-diam aku juga seperti mereka, menunggu. Berdoa, agar Nirina tak lagi ragu. Kemudian pelan-pelan kami melihat Nirina mengangkat wajahnya. Sebutir embun menggenang di kedua mata sipitnya. Dan seperti sulit dipercaya, Nirina kemudian menganggukkan kepala.

Yes! Yess! Yesss!

Aku bersorak paling kencang, meski sepertinya tak ada yang mendengar, kecuali Nirina sendiri.

Rapat kilat dilakukan, tanggal pun ditentukan. Hanya dalam waktu dua pekan sebuah pernikahan siap digelar. Aku betul-betul salut melihat kegigihan dan ketenangan pemuda bernama Bagus itu. Ketenangan yang perlahan mengalir pada diri Nirina, dan memberinya kemantapan hati.

Nirina… Nirina… akhirnya! desisku di antara peluk cium, Kakak, Papa, dan Mama. Kegembiraan serupa memancar dari wajah kedua orang tua Bagus, juga pemuda itu sendiri.

Begitulah, hari demi hari setelahnya, aku mencatat keriangan Nirina. Antusiasmenya dalam memilih undangan, mengurus sendiri ke percetakan, terkadang ditemani Bagus dan adiknya. Lalu mencari masjid tempat akad nikah dilakukan. Juga menyewa tempat resepsi besar, sesuai keinginan kedua orang tua Nirina. Aku sendiri tak heran, maklumlah mereka dua keluarga besar. Tentu banyak yang akan protes jika tak diundang.

Hingga hari H tiba.

Sejak malam sebetulnya aku menangkap sesuatu yang lain. Bukan kecemasan seperti yang sudah-sudah, meski udaranya nyaris serupa. Nirina, seperti menunggu sesuatu.

Salat malam dilakukan gadis itu, dengan sujud-sujud panjang. Lalu tangannya menengadah. Usai tahajud, gadis itu membuka jendela, dan matanya menerobos dalam kegelapan, seolah mencari-cari sesuatu. Bahkan hingga Subuh berkumandang, detak jantungnya kembali berbunyi keresahan, agak berbeda, tapi nyaris seperti yang lalu-lalu.

Mulanya aku tak mau bicara. Kubiarkan saja dia merenungi masa-masa terakhir sebagai seorang gadis. Lusa dia akan terbangun dengan seorang pendamping di sisinya, dalam dunia yang sama sekali berbeda. Bahkan sejak mereka masuk ke peraduan.

Harusnya, Nirina bahagia. Kenyataannya?

Lepas salat Subuh, ketika Mama menggedor kamar Nirina, menyuruhnya mandi, Nirina melakukannya setengah hati saja. Begitu pun ketika Mariska mengingatkannya agar segera keluar kamar, untuk dirias sebagaimana pengantin umumnya, Nirina menunjukkan sikap enggan.

Aku tak tahan lagi berdiam.

”Nirina, kenapa lagi?”

Wajah orientalnya tampak cantik dalam lipstik warna merah jambu. Tapi gadis itu masih saja tepekur di pinggiran ranjang pengantin yang sudah dihias dan menyebarkan wangi melati.

”Kamu harus ganti baju, Nirina.”

Kepalanya tertunduk,”Ya, aku tahu.”

”Lalu? Jangan katakan kamu ragu lagi.”

Nirina tak menjawab, kedua kakinya digoyang-goyangkan hingga ranjang sedikit terayun. Sikap yang kontan membuatku merasa cemas.

”Kamu tidak ragu lagi, kan? Tidak berubah pikiran, kan?”

Nirina menggelengkan kepalanya.

”Lalu apa? Ada apa?”

Nirina mengembuskan napas berat. ”Entahlah… aku rasa… aku….”

Kalimatnya terhenti, gadis itu menarik napas lagi.

”Kenapa denganmu?”

Nirina melompat dari tempat tidur. Barusan suara Mama menyuruhnya berpakaian, terdengar lagi.

Tangan Nirina menarik resleting kebaya putihnya. Lalu masih tetap dengan wajah murung, memakainya.

”Please, jangan sekarang, Nirina. Jangan ragu ketika kamu sudah sedekat ini,” pintaku, setengah memohon.

”Aku tahu,”

”Lalu?”

”Aku tidak ragu, hanya saja…,” suaranya kembali terputus teriakan Mama. Nirina menjawab panggilan orang tuanya tanpa membuka kamar. ”Sebentar, Ma….”

”See? Semua orang gugup hari ini, Nirina, apalagi kamu. Itu wajar!”

Nirina tak menjawab. Gadis itu kini telah selesai berpakaian. Dipandangnya sosok kecil mungil dalam balutan kebaya berwarna putih gading, dan kain batik di depan cermin. Selembar kain schiffon sebagai pelengkap jilbab dikenakannya tanpa ekspresi.

Ahh, aku tak suka melihat wajah cantiknya yang masih saja murung.

”Kalau bukan ragu, apa lagi?” kejarku setelah beberapa saat kami hanya berdiam.

”Aku menunggu pertanda.”

”Apa?” teriakku kaget,”Pertanda?”

”Ya!” jawabnya tegas,”Pertanda dari Allah, bahwa Bagus memang suami impian, laki-laki yang dipilihkan-Nya untukku! Apa itu salah?”

Fhew. Nirina sungguh menguras kesabaranku.

“Dan kamu belum mendapatkannya? Selama obrolan lima kali dengan calonmu itu, tidakkah kamu bisa menangkap pertanda?”

Nirina menggeleng.

Ya Allah. Aku makin kesal dibuatnya.

“Maksudku bukan itu, tapi pertanda. Sesuatu yang bisa membuatku lebih mantap, sebab tahu memang dialah pilihan dari-Nya.”

“Pertanda, ya? Pertanda?!”

“Ya… sudah sejak semalam aku memikirkannya.”

“Kenapa tidak mencari pertanda ketika tanggal belum lagi ditetapkan?”

“Tidak bisa.” Kepalanya menggeleng lagi, ”Sebab kali ini aku tak punya alasan. Tidak matanya, tidak cara berjalannya, tidak sikapnya, tidak dahinya yang selalu berkerut, tidak ada!”

Bagus nyaris sempurna di mata Nirina. Sosok suami yang diimpikannya. Aku tahu pasti itu.

”Kalau begitu, ini cuma alasan yang dicari-cari!” teriakku dengan suara tertahan.

Sementara matahari terus bergulir. Di luar kamar sudah terdengar suara riuh sanak saudara yang datang untuk mengantar Nirina ke tempat akad nikah, sekaligus resepsi. Pintu sudah berkali-kali diketuk, tapi Nirina belum keluar juga. Dan alasannya cuma satu: gadis itu belum menemukan pertanda!

Ini gila!

”Jangan menyebutku begitu. Sudah kubilang ini cuma masalah waktu. Pertanda itu pasti datang.”

”Seperti apa?”

Nirina mengangkat bahunya. ”Entahlah, tapi mungkin aku akan mendengar orang-orang menyebut kata ’bagus’ berkali-kali, atau awan tiba-tiba membentuk inisial nama kami berdua, atau….”

”Atau kamu tiba-tiba melewati mobil pengantin lain, atau melewati toko kue di mana terlihat kue pengantin tiga tingkat disana, atau sekawanan burung-burung terbang di langit membentuk wajah calon suamimu itu… atau…,” ujarku asal.

Nirina mengangguk. ”Ya, seperti itulah. Apa pun yang bisa dijadikan pertanda.”

Aku benar-benar hilang akal, Nirina kenapa tidak mendengar kata-kataku, sekali ini saja!

”Cobalah mengerti, terlalu banyak yang harus aku pertaruhkan,” ujarnya mencoba meyakinkanku, ”Bagaimana kalau Bagus tak sebaik yang kita duga? Bagaimana jika dia sudah punya istri dimana-mana, bagaimana jika dia nanti ternyata suka memukuli istri? Atau ternyata pernah terlibat mafia di luar negeri, atau merampok bank?” Suara Nirina meninggi, di sela ketukan pintu yang kembali terdengar.

”Kamu kebanyakan nonton infotainment!” sergahku cepat.

Ketukan di pintu berulang lagi. Ritmenya kian cepat. Orang-orang pasti mulai tidak sabar.

”Nirina….”

Itu suara Mama.

Nirina diam, aku tahu dia menungguku mengucapkan sesuatu.

“Kalau begitu, cari kelebihannya Nirina. Pusatkan pikiranmu pada kebaikan-kebaikannya, itulah pertanda! Itulah alasan kenapa kamu harus menikah dengan Bagus.”

Nirina diam, aku tahu dia sedang berpikir keras.

Tetapi tak ada waktu, suara ketukan di pintu kini telah berupa gedoran.

Nirina harus segera mengambil keputusan. Sebentar lagi pintu mungkin didobrak dari luar. Mereka bisa saja mengira gadis itu telah pingsan di kamarnya karena nervous.

Di tepi ranjang, Nirina masih berpikir. Mengetahui itu aku menjadi lebih semangat mengembuskan pikiran demi pikiran.

Sikapnya yang sopan, Nirina.

Matanya yang tak liar ketika menatapmu.

Perhatikan bagaimana dia selalu menunggu lawan bicaranya selesai, sebelum menanggapi.

Pikirannya yang cerdas telah menghemat banyak biaya pernikahan.

Keinginan untuk memperistrimu secepatnya.

Ingat senyumnya yang hangat. Matanya yang teduh.

Kesabarannya menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Juga keraguan yang beberapa kali melintas.

Lalu salatnya yang selalu tepat waktu.

Air mata Nirina menetes.

Aku mengangguk, ”Itu lebih dari pertanda, Nirina. Allah mengirimkanmu seorang lelaki yang baik.”

Nirina mengikuti anggukanku.

”Well, mungkin tidak seganteng Keanu Reeves, perawakannya pun tidak setegap Ade Ray, apalagi suaranya jika dibandingkan Clay Aiken yang merdu, belum lagi….”

Nirina mengapus air matanya. ”Sudah, sudah. Jangan membuatku kembali ragu,” potongnya cepat.

Aku setuju.

Di dalam mobil yang mengantarnya ke tempat akad nikah, aku mendengar Nirina bersenandung kecil.

”Nirina….”

”Apa?”

”Tidak jelek kan menuruti kata hati?”

Gadis berwajah oriental itu mengangguk. Lalu tersenyum lebih lebar. Menenangkan Papa dan Mama, yang sejak tadi tampak kebingungan menyaksikan percakapan Nirina denganku sepanjang perjalanan. Barangkali alasannya karena aku cuma sosok tanpa wujud. Ah, seharusnya sejak tadi aku memperkenalkan diri pada mereka.

”Ehem… namaku nurani, atau….”

Aku masih berusaha memikirkan beberapa nama lain, ketika sebuah suara yang akrab denganku sejak kelahirannya, menyergah. ”Ssst… jangan berisik!”

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana

Aku Ingin Mencintaimu Dengan SederhanaAku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”

Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.

Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.

Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.

Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.

Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.

Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.

”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.

Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.

Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.

Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.

”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.

Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.

Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.

”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.

Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?

Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?

Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.

Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.

Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Lewat kata yang tak sempat disampaikan

Awan kepada air yang menjadikannya tiada

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *