
Beda era beda suasana romantis. Tahun 80an ya itu, kabut. Mungkin masa itu banyak pecinta alam. Sering naik gunung, dan pagi biasanya berkabut. Juga tempat piknik itu Puncak. Kawasan itu sering berkabut. Jadi banyak lagu-lagu cinta meromantisasi kabut.
Mengapa bisa begitu? Bukankah kabut malah menutupi pandangan? Menutupi keindahan sekitar kita? Apakah memang kabut itu bisa membuat orang jatuh cinta? Bahagia?
Rasanya tidak.
Yang terjadi adalah dalam suasana kabut itu, ia berjumpa dan ditemani kekasihnya. Dalam kabut itu, dia dibelai kekasihnya. Dalam kabut itu, dia mendengar kata-kata manis dan lembut dari kekasihnya. Dalam kabut itu, dia merebahkan dirinya di pangkuan kekasihnya.
Itu yang membuatnya mampu melihat keindahan dalam kabut.
Ah, bukankah demikian pula dengan kabut dalam hidup kita? Saat hidup kita gelap. Mengalami kesusahan. Mengalami tragedi. Mengalami ketakutan. Saat kita tidak bisa melihat masa depan. Jalan keluar.
Kita sering bertanya. Mengapa kita mengalami semua ini.
Saya kira semua orang pasti mengalami hal seperti itu. Jadi bukan itu yang penting. Yang penting adalah kita mencari kekasih kita. Mencari sahabat kita. Mencari Dia yang akan menemani kita. Akan mendampingi kita. Akan menolong kita. Akan membelai kita.
Saat kita letih dan lelah, betapa indahnya belaian itu. Betapa indahnya pelukan itu. Betapa indahnya kata-kata manis itu. Betapa indahnya pangkuan dimana kita dapat merebahkan kepala kita.
Jadi kita tidak perlu minta agar kita tidak pernah mengalami kabut dalam kehidupan. Kita minta, kalau kabut itu datang, kita akan ditemani. Ditolong. Tidak ditinggalkan.
Maka kabut itu menjadi indah. Yang akan kita ingat bukanlah gelapnya kabut itu. Tapi kebaikan hatinya saat kita melewatinya.
0 comments:
Posting Komentar